## Dokter Terawan Agus Putranto: Kontroversi, Inovasi, dan Pengakuan Internasional
Nama Dokter Terawan Agus Putranto mungkin sudah tak asing lagi di telinga masyarakat Indonesia. Sosok kontroversial yang namanya melejit berkat metode “cuci otak” untuk pengobatan stroke ini telah menjadi perbincangan hangat di dunia kedokteran nasional, bahkan internasional. Selain dikenal sebagai kepala Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD), ia juga dikenal karena telah berhasil menangani puluhan ribu pasien stroke. Baru-baru ini, namanya kembali menjadi sorotan setelah muncul di Kompleks Istana Kepresidenan pada Selasa, 22 Oktober 2019, memicu spekulasi terkait kemungkinan masuknya beliau ke kabinet pemerintahan.
Lebih dari sekadar kontroversi, perjalanan karir Dokter Terawan menunjukkan sebuah kisah inovasi yang patut dikaji. Lulusan Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada (UGM) ini, yang juga berlatar belakang dokter militer dan pernah menjabat sebagai dokter kepresidenan sejak tahun 2009, telah menangani berbagai tokoh penting, termasuk artis papan atas seperti Ashanty. Terungkap bahwa Ashanty didiagnosis mengidap penyakit autoimun setelah menjalani pemeriksaan oleh Dokter Terawan. Kisah ini menambah panjang daftar pasien ternama yang telah merasakan sentuhan profesionalisme beliau.
Metode pengobatan stroke yang dikembangkan Dokter Terawan, sering disebut sebagai “cuci otak,” memang menuai pro dan kontra. Meskipun telah berhasil membantu sekitar 40.000 pasien menurut klaim beliau, metode ini menimbulkan kontroversi dan kecaman keras dari Ikatan Dokter Indonesia (IDI). IDI bahkan menjatuhkan sanksi berupa pencabutan izin praktik dan pemecatan sementara dari keanggotaan selama 12 bulan (26 Februari 2018 hingga 15 Februari 2019) atas dugaan pelanggaran etika kedokteran. Keputusan ini diambil setelah sidang Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK).
Namun, di balik kontroversi tersebut, terdapat testimoni positif dari sejumlah pasien yang menggambarkan Dokter Terawan sebagai sosok sederhana dan tidak mementingkan materi. Biaya pengobatan yang diterapkannya pun dinilai relatif terjangkau dibandingkan pengobatan serupa di luar negeri. Hal ini menunjukkan komitmen beliau untuk memprioritaskan kesembuhan pasien di atas keuntungan finansial.
Metode pengobatan yang dikembangkan Dokter Terawan, yang sebenarnya adalah terapi DSA (Digital Substraction Angiogram) dan melibatkan penyuntikan Heparin untuk mencegah pembekuan darah, telah dijelaskan lebih rinci dalam disertasinya yang berjudul “Efek Intra Arterial Heparin Flushing Terhadap Regional Cerebral Blood Flow, Motor Evoked Potentials, dan Fungsi Motorik pada Pasien dengan Stroke Iskemik Kronis”. Metode ini, yang juga dikenal sebagai “brain flushing,” bahkan telah mendapatkan pengakuan internasional dan dipatenkan di Jerman dengan nama “Terawan Theory.”
Prestasi Dokter Terawan tak hanya berhenti di situ. Beliau juga telah menerima sejumlah penghargaan bergengsi, termasuk penghargaan dari Hendropriyono Strategic Consulting (HSC) dan dua rekor Museum Rekor Indonesia (MURI) sebagai penemu terapi cuci otak dan penerapan program DSA terbanyak. Kisah Dokter Terawan menjadi bukti nyata bahwa seorang dokter militer dapat berkontribusi besar dalam inovasi medis dan memberikan akses pengobatan yang cepat dan efektif bagi pasien stroke di Indonesia, meski tetap diiringi kontroversi yang hingga kini terus diperdebatkan. Perjalanan karir dan metode pengobatannya menjadi topik yang menarik untuk dikaji lebih lanjut, mengingat dampaknya yang signifikan terhadap dunia kedokteran Tanah Air dan bahkan internasional.
**Kata Kunci:** Dokter Terawan, Cuci Otak, Stroke, DSA, Digital Substraction Angiogram, Terapi Terawan, IDI, Kontroversi Medis, Inovasi Kedokteran, Pengobatan Stroke, RSPAD, Ashanty, Penyakit Autoimun.